Kisah Dibalik Peringatan Ikan Buas Di Sidomuncul
Kisah Dibalik Peringatan Ikan Buas Di Sidomuncul
Sebuah papan peringatan bertuliskan 'Hati-Hati Ada Ikan Buas' terpasang di dekat danau di kawasan Agrowisata Sido Muncul. Agrowisata itu sendiri berlokasi di area pabrik Sido Muncul yang berada di Jl. Soekarno Hatta Km 28 Kecamatan Bergas – Klepu, Kabupaten Semarang. Lalu, ikan buas apakah yang dimaksud?
Kepala Agrowisata Sido Muncul, Bambang Supartoko menyebut ikan dimaksud adalah Arapaima (Arapaima gigas), ikan asli Sungai Amazon yang menempati danau itu sejak 2008. Ikan tersebut tidak sepenuhnya buas karena ia biasanya hanya memakan ikan kecil, udang, dan katak. Namun, ada alasan hingga peringatan itu dipasang.
Awalnya, salah satu pemilik perusahaan jamu nasional itu mendapatkannya sebagai hadiah dari seseorang. "Pertamanya dipelihara sejak kecil di akuarium sekitar tahun 2005. Ketika awal dipelihara panjangnya 40 cm," kata Bambang.di Semarang, Selasa, 14 November 2017.
Ada dua ekor Arapaima yang didapat saat itu hingga akhirnya akuarium berukuran 1,5 m x 60 cm itu tak mampu mengakomodasi gerak ikan langka tersebut. Akhirnya, sang pemilik berinisiatif memindahkannya ke kolam di kawasan agrowisata di pabrik.
Kabar pemindahan Arapaima ke kawasan agrowisata diketahui oleh masyarakat. Seiring perjalanan waktu, ada masyarakat yang menitipkan Arapaima milik mereka ke tempat itu. Total Arapaima yang dipelihara hingga 2014 sebanyak sembilan ekor.
"Pada tahun 2011, kami mendapatkan izin lembaga konservasi dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai taman satwa. Kenapa dikategorikan taman satwa, itu karena luasannya hanya 5 hektare," kata Bambang.
Sebagai lembaga konservasi, lanjut Bambang, tempat agrowisata itu berhak untuk memeragakan satwa koleksi kepada masyarakat umum. Berbekal izin itu, pihak pengelola berinisiatif untuk memindahkan sebagian koleksi Arapaima ke akuarium khusus.
Pemindahan itu, ucap Bambang, karena air danau yang keruh menyulitkan warga yang berkunjung ke lokasi itu, untuk menyaksikan Arapaima lebih jelas. Apalagi, ikan tersebut memang diketahui mampu bertahan hidup dalam kondisi minim oksigen.
Pada 2014, pihak pengelola mencoba memindahkan sebagian Arapaima ke akuarium dengan cara mempersempit ruang gerak ikan. "Dapat tiga ekor, tapi yang satu ekor dalam eksekusinya, dia nabrak papan sehingga gegar otak dan akhirnya meninggal dunia," ucapnya.
Bambang menuturkan, tiga ekor ikan yang hendak dipindahkan saat itu berukuran panjang sekitar 2,4 meter. Sebagai satwa liar, mereka memiliki insting bertahan hidup saat dirasa ada ancaman mendekat. Itu menjelaskan sikap berontak ikan Arapaima yang akhirnya mati karena gegar otak.
Tak hanya kehilangan ikan berharga, proses pemindahan yang kurang persiapan itu juga membuat tiga pegawai terluka. Mereka mendapat luka robek di dahi saat berusaha menangkap Arapaima yang meronta.
"Ada yang harus dijahit tujuh jahitan akibat mencoba memindahkan Arapaima itu," kata Bambang.
Berbekal pengalaman itu, pihaknya kemudian mencari cara teraman untuk memindahkan dua ikan raksasa lainnya. Didapatlah ide membuat perangkap ikan dari bambu yang disebut bubu. Ukuran bubu juga disesuaikan dengan ikan yang hendak ditangkap.
"Supaya ikannya aman, sisiknya tidak lecet, dan tidak luka, di dalam bubu dilapisi spons, karena prinsip konservasi itu tidak boleh menyakiti satwa," kata Bambang.
Menurut dia, butuh waktu tiga hari untuk menuntaskan proses pemindahan Arapaima ke akuarium. Dua hari diperlukan untuk menguras air danau agar hanya tersisa kedalaman 1 meter, sehari lainnya untuk memindahkan ikan.
"Danau itu (kedalaman) di tengah 3 meter, di tepi 2,5 meter. Kita kuras sampai 1 meter agar ruang gerak ikan jadi sempit, tetapi ikan yang lain tetap hidup," ia menjelaskan.
Pada hari ketiga proses pemindahan, pengelola memerlukan waktu sekitar 6-7 jam untuk menyelesaikannya. Itu pun masih harus dibantu alat berat berupa forklift untuk bisa mengangkat kedua ikan.
"Soalnya dia punya power kuat sekali," kata Bambang.
Kini, tersisa enam ekor Arapaima di dalam danau tersebut. Ekosistem danau dibuat senyaman mungkin untuk hidup Arapaima. Agar tercipta rantai makanan yang baik bagi kelangsungan hidup Arapaima, pengelola juga mengisi danau dengan ikan lain, seperti lele, patin, dan ikan mujair.
Sementara, Arapaima yang mati diputuskan untuk diawetkan di sebuah tempat offset di Solo. Menurut Bambang, pengawetan itu bertujuan sebagai sarana pembelajaran bila suatu saat ikan tersebut akan dipajang di tempat tertentu.
Bambang juga mengungkapkan ikan Arapaima yang mati diketahui berjenis kelamin perempuan berdasarkan temuan telur di dalam perut ikan saat dibedah. "Ada ribuan telurnya," katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Arapaima diketahui mulai bereproduksi saat usianya menginjak 4-5 tahun. Pembuahan terjadi di luar tubuh induknya dan Arapaima jantan akan sangat protektif pada anak dan betinanya ketika proses pengembangbiakan berlangsung.
Meski begitu, Bambang mengaku tidak mengetahui pasti jumlah Arapaima yang berada di danau itu kini. Meski meyakini ada proses perkawinan, pihaknya belum pernah meneliti secara intens mengenai proses perkembangbiakan 'ikan buas' yang ada di kawasan tersebut.
Bambang juga membuka kesempatan bagi kalangan akademisi untuk meneliti ikan langka tersebut. Dengan begitu, lembaga konservasi tersebut juga bisa berfungsi sebagai sarana edukasi.
"Sejauh ini yang datang dari kalangan universitas hanya melakukan praktik lapang. Belum ada yang meneliti Arapaima secara khusus," katanya.
Namun, jika tertarik hanya untuk berkunjung, Agrowisata Sido Muncul menerima kunjungan hanya dalam rombongan minimal 30 orang setiap hari kerja. Waktu kunjungan dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Semua tanpa biaya.
Kepala Agrowisata Sido Muncul, Bambang Supartoko menyebut ikan dimaksud adalah Arapaima (Arapaima gigas), ikan asli Sungai Amazon yang menempati danau itu sejak 2008. Ikan tersebut tidak sepenuhnya buas karena ia biasanya hanya memakan ikan kecil, udang, dan katak. Namun, ada alasan hingga peringatan itu dipasang.
Awalnya, salah satu pemilik perusahaan jamu nasional itu mendapatkannya sebagai hadiah dari seseorang. "Pertamanya dipelihara sejak kecil di akuarium sekitar tahun 2005. Ketika awal dipelihara panjangnya 40 cm," kata Bambang.di Semarang, Selasa, 14 November 2017.
Ada dua ekor Arapaima yang didapat saat itu hingga akhirnya akuarium berukuran 1,5 m x 60 cm itu tak mampu mengakomodasi gerak ikan langka tersebut. Akhirnya, sang pemilik berinisiatif memindahkannya ke kolam di kawasan agrowisata di pabrik.
Kabar pemindahan Arapaima ke kawasan agrowisata diketahui oleh masyarakat. Seiring perjalanan waktu, ada masyarakat yang menitipkan Arapaima milik mereka ke tempat itu. Total Arapaima yang dipelihara hingga 2014 sebanyak sembilan ekor.
"Pada tahun 2011, kami mendapatkan izin lembaga konservasi dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai taman satwa. Kenapa dikategorikan taman satwa, itu karena luasannya hanya 5 hektare," kata Bambang.
Sebagai lembaga konservasi, lanjut Bambang, tempat agrowisata itu berhak untuk memeragakan satwa koleksi kepada masyarakat umum. Berbekal izin itu, pihak pengelola berinisiatif untuk memindahkan sebagian koleksi Arapaima ke akuarium khusus.
Pemindahan itu, ucap Bambang, karena air danau yang keruh menyulitkan warga yang berkunjung ke lokasi itu, untuk menyaksikan Arapaima lebih jelas. Apalagi, ikan tersebut memang diketahui mampu bertahan hidup dalam kondisi minim oksigen.
Pada 2014, pihak pengelola mencoba memindahkan sebagian Arapaima ke akuarium dengan cara mempersempit ruang gerak ikan. "Dapat tiga ekor, tapi yang satu ekor dalam eksekusinya, dia nabrak papan sehingga gegar otak dan akhirnya meninggal dunia," ucapnya.
Bambang menuturkan, tiga ekor ikan yang hendak dipindahkan saat itu berukuran panjang sekitar 2,4 meter. Sebagai satwa liar, mereka memiliki insting bertahan hidup saat dirasa ada ancaman mendekat. Itu menjelaskan sikap berontak ikan Arapaima yang akhirnya mati karena gegar otak.
Tak hanya kehilangan ikan berharga, proses pemindahan yang kurang persiapan itu juga membuat tiga pegawai terluka. Mereka mendapat luka robek di dahi saat berusaha menangkap Arapaima yang meronta.
"Ada yang harus dijahit tujuh jahitan akibat mencoba memindahkan Arapaima itu," kata Bambang.
Berbekal pengalaman itu, pihaknya kemudian mencari cara teraman untuk memindahkan dua ikan raksasa lainnya. Didapatlah ide membuat perangkap ikan dari bambu yang disebut bubu. Ukuran bubu juga disesuaikan dengan ikan yang hendak ditangkap.
"Supaya ikannya aman, sisiknya tidak lecet, dan tidak luka, di dalam bubu dilapisi spons, karena prinsip konservasi itu tidak boleh menyakiti satwa," kata Bambang.
Menurut dia, butuh waktu tiga hari untuk menuntaskan proses pemindahan Arapaima ke akuarium. Dua hari diperlukan untuk menguras air danau agar hanya tersisa kedalaman 1 meter, sehari lainnya untuk memindahkan ikan.
"Danau itu (kedalaman) di tengah 3 meter, di tepi 2,5 meter. Kita kuras sampai 1 meter agar ruang gerak ikan jadi sempit, tetapi ikan yang lain tetap hidup," ia menjelaskan.
Pada hari ketiga proses pemindahan, pengelola memerlukan waktu sekitar 6-7 jam untuk menyelesaikannya. Itu pun masih harus dibantu alat berat berupa forklift untuk bisa mengangkat kedua ikan.
"Soalnya dia punya power kuat sekali," kata Bambang.
Kini, tersisa enam ekor Arapaima di dalam danau tersebut. Ekosistem danau dibuat senyaman mungkin untuk hidup Arapaima. Agar tercipta rantai makanan yang baik bagi kelangsungan hidup Arapaima, pengelola juga mengisi danau dengan ikan lain, seperti lele, patin, dan ikan mujair.
Sementara, Arapaima yang mati diputuskan untuk diawetkan di sebuah tempat offset di Solo. Menurut Bambang, pengawetan itu bertujuan sebagai sarana pembelajaran bila suatu saat ikan tersebut akan dipajang di tempat tertentu.
Bambang juga mengungkapkan ikan Arapaima yang mati diketahui berjenis kelamin perempuan berdasarkan temuan telur di dalam perut ikan saat dibedah. "Ada ribuan telurnya," katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Arapaima diketahui mulai bereproduksi saat usianya menginjak 4-5 tahun. Pembuahan terjadi di luar tubuh induknya dan Arapaima jantan akan sangat protektif pada anak dan betinanya ketika proses pengembangbiakan berlangsung.
Meski begitu, Bambang mengaku tidak mengetahui pasti jumlah Arapaima yang berada di danau itu kini. Meski meyakini ada proses perkawinan, pihaknya belum pernah meneliti secara intens mengenai proses perkembangbiakan 'ikan buas' yang ada di kawasan tersebut.
Bambang juga membuka kesempatan bagi kalangan akademisi untuk meneliti ikan langka tersebut. Dengan begitu, lembaga konservasi tersebut juga bisa berfungsi sebagai sarana edukasi.
"Sejauh ini yang datang dari kalangan universitas hanya melakukan praktik lapang. Belum ada yang meneliti Arapaima secara khusus," katanya.
Namun, jika tertarik hanya untuk berkunjung, Agrowisata Sido Muncul menerima kunjungan hanya dalam rombongan minimal 30 orang setiap hari kerja. Waktu kunjungan dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Semua tanpa biaya.
Post a Comment