Pelaku Penembakan 2 Polisi Ternyata Juga Teroris Poso Bima
Pelaku Penembakan 2 Polisi Ternyata Juga Teroris Poso Bima
Senin, 11 September 2017. Jam menunjukkan pukul 07.00 Wita. Bripka Jainal Abidin, anggota Satuan Sabhara Polres Bima, baru saja pulang mengantarkan anaknya yang bersekolah di SDN 10 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Dia tak sadar kalau ada dua pasang mata yang terus membuntuti.
Saat Jainal menyusuri jalan di Kelurahan Penatoi, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, tiba-tiba saja... Dorrrr!!!
Dua orang tak tak dikenal melepaskan peluru ke arah Bripka Jainal, lantas dengan cepat melarikan diri. Jainal terkapar dengan luka tembak di bagian bahu kanan belakang.
Berselang 15 menit, tak jauh dari lokasi penembakan Jainal, seorang anggota polisi lain juga mengalami kejadian serupa. Bripka Abdul Gafur, yang juga baru mengantarkan anaknya ke SMP 8 Kota Bima, ditembak orang tak dikenal. Anggota Polsek Langgudu, Kota Bima, itu dihantam timah panas di bagian pinggang kanan.
Kabar penembakan ini cepat menyebar. Polres Bima langsung menerjunkan anggotanya ke lapangan. Dari penyelidikan, diketahui kalau pelaku bukanlah sosok yang asing. Salah seorang di antaranya cukup dikenal warga sekitar.
"Salah satu korban melihat pelaku dan dia dikenal masyarakat," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin siang.
Tidak sampai satu jam setelah kejadian, polisi mengepung sebuah rumah di Kelurahan Penatoi RT 04 RW 01. Rumah itu diketahui milik Iman Faturahman (31), salah satu anggota komplotan Bili cs yang baru bebas dari Lapas Nusakambangan terkait kasus terorisme.
Di dalam rumah, polisi menemukan sejumlah senjata, antara lain pisau sangkur, belati, parang, dan ketapel. Ditemukan pula sejumlah buku yang antara lain berjudul Surat Kepada Penguasa, Tathbiq Syariah, Selagi Nyawa Menyatu di Raga, 10 Pembatal Ke-Islaman, NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia), serta buku berjudul Status Orang yang Diam Tidak Membantu Para Penguasa Kafir dan Tidak Pula Mengingkari Mereka.
Berturut-turut kemudian, polisi menangkap tiga terduga lain, masih di kawasan Kelurahan Penatoi. Mereka adalah Lita Susanti (34), Ikazdul Imam (21) dan Wawan Darmawan (27).
Dilihat dari rekam jejak Iman Faturahman serta barang bukti yang ditemukan, bisa ditebak motif penembakan terhadap Jainal dan Gafur. Apalagi Bima dan Penatoi kerap disebut dalam banyak rangkaian peristiwa yang berhubungan dengan aksi teror, yang secara khusus menargetkan markas polisi atau anggota Polri.
Pada 17 Juni 2017, misalnya, Densus 88 Antiteror menangkap tiga tersangka teroris di Bima. Ketiganya diduga telah mempersiapkan aksi pengeboman di Markas Polsek Woha, Bima. Mereka juga telah menyiapkan bom rakitan. Bahkan, Wakil Kepala Polda NTB Komisaris Besar Imam Margono mengatakan kuat dugaan mereka berafiliasi dengan jaringan ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
"Secara struktural jaringannya dengan ISIS masih akan kita dalami di pemeriksaan lanjutan," kata Imam Margono kepada wartawan.
Para tersangka itu adalah Kurniawan bin Hamzah (23), yang berperan sebagai penyurvei lokasi dan perakit bom. Kemudian, Nasrul Hidayat alias Dayat (21), mahasiswa yang bertugas sebagai kurir untuk membeli bahan pembuatan bom. Satu tersangka lainnya, Rasyid Ardiansyah, merupakan anggota jaringan Penatoi di Bima yang sempat bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Barat (MIB) dan pernah merampok Kantor Pos dan Giro Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada 2012.
Bahkan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan dua terduga teroris yang ditangkap di Bima (Kurniawan dan Nasrul Hidayat) itu belajar langsung dari Bahrun Naim tentang cara membuat bom.
"Rupanya di Bima juga sama, belajar dari online juga, melalui Bahrun Naim," kata Kapolri di Jakarta, Senin.
Sama dengan rencana serangan lainnya, kata Tito, bom ini rencananya akan digunakan untuk menyerang polisi. Kapolri mengatakan di Bima memang ada beberapa kejadian anggota polisi yang meninggal dan ditembak dalam beberapa tahun terakhir.
"Rencananya yang di Bima akan menyerang Polsek Woha," kata Tito.
Hal ini, kata Tito, serupa dengan pelaku pengeboman di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Keduanya juga belajar membuat bom secara online.
"Semua peristiwa sekarang dilakukan sel JAD (Jamaah Ansharut Daullah), termasuk di Kampung Melayu dan Jalan Thamrin," kata Tito.
Lantas, sejak kapan Bima menjadi sarang kawanan teroris ini?
Mantan narapidana terorisme Sofyan Tsauri tidak merasa heran kalau aksi penembakan dua polisi itu terjadi di Bima.
"Bima adalah destinasi kelompok radikal dan basis kelompok ekstremis. Banyak alumni kombatan juga," kata Sofyan kepada Liputan6.com.
Ia menuturkan, beberapa aksi teror pernah terjadi di sana. Sekitar tahun 2011, kata dia, terjadi insiden penusukan polisi. Tidak lama kemudian, terungkap pula kasus perakitan lima bom di Pondok Pesantren Umar bin Khattab.
Polisi juga mengaitkan pondok pesantren ini dengan pelatihan teror di Aceh. Sofyan Tsauri sendiri pernah terlibat langsung dalam pelatihan itu.
Karena tindakannya menyuplai senjata api dalam pelatihan itu, ia ditangkap dan divonis 10 tahun penjara. Menurut Sofyan, sisa-sisa kekuatan kelompok teror di Poso saat ini berasal dari Bima.
Pada 2013, pesantren Umar bin Khattab dibubarkan. Menurut Sofyan, santri-santrinya banyak yang pindah ke Ampana, lalu bergabung dengan kelompok Santoso di Poso.
Ia juga menyebut wilayah Penatoi di Bima, lokasi kejadian penembakan dua polisi itu, merupakan salah satu basis kekuatan kelompok ekstremis. Sofyan mengatakan tempat itu juga merupakan domisili salah satu pelaku bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur.
"Jadi, (kelompok teror) Bima ini memang cukup signifikan," papar mantan anggota Al Qaeda itu.
Ia menuturkan, di Bima banyak pengikut gerakan seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharut Daullah, dan Jamaah Ansharut Syariah.
Sofyan mengungkapkan, kelompok teror dari Bima banyak dipengaruhi pemikiran ideologi Aman Abdurrahaman alias Oman. Pemilik nama tersebut kini mendekam di bui Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Polisi menduga Oman terlibat aksi pengeboman Sarinah beberapa waktu lalu.
Keterangan Sofyan senada dengan Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti. Dia mengatakan tidak merasa heran dengan keberadaan jaringan teroris di Bima, karena Santoso alias Abu Wardah punya hubungan khusus dengan daerah tersebut.
Santoso ternyata punya seorang istri yang berasal dari Bima. "Kan istri kedua Santoso itu dari Bima. Ada beberapa orang di Bima terkait dengan Santoso," kata Badrodin di Markas Besar Polri, 15 Februari 2016.
Keterangan itu diperkuat mantan Kapolda NTB Brigjen Pol Umar Septono. Dia menjelaskan, wilayah Penatoi merupakan pusat kegiatan kelompok radikal.
Hal itu diungkapkan saat memberikan keterangan pers terkait tewasnya seorang tersangka teroris berinisial FJ, asal Kelurahan Penatoi, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, pada 15 Februari 2016. FJ tewas saat Densus 88 Anti Teror Polri menggerebek kediamannya.
"Perannya cukup kuat, dia diduga berpartisipasi dalam perekrutan anggota baru, termasuk menjembatani mereka dari Bima ke Poso," kata Umar, ketika itu.
Saat Jainal menyusuri jalan di Kelurahan Penatoi, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, tiba-tiba saja... Dorrrr!!!
Dua orang tak tak dikenal melepaskan peluru ke arah Bripka Jainal, lantas dengan cepat melarikan diri. Jainal terkapar dengan luka tembak di bagian bahu kanan belakang.
Berselang 15 menit, tak jauh dari lokasi penembakan Jainal, seorang anggota polisi lain juga mengalami kejadian serupa. Bripka Abdul Gafur, yang juga baru mengantarkan anaknya ke SMP 8 Kota Bima, ditembak orang tak dikenal. Anggota Polsek Langgudu, Kota Bima, itu dihantam timah panas di bagian pinggang kanan.
Kabar penembakan ini cepat menyebar. Polres Bima langsung menerjunkan anggotanya ke lapangan. Dari penyelidikan, diketahui kalau pelaku bukanlah sosok yang asing. Salah seorang di antaranya cukup dikenal warga sekitar.
"Salah satu korban melihat pelaku dan dia dikenal masyarakat," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin siang.
Tidak sampai satu jam setelah kejadian, polisi mengepung sebuah rumah di Kelurahan Penatoi RT 04 RW 01. Rumah itu diketahui milik Iman Faturahman (31), salah satu anggota komplotan Bili cs yang baru bebas dari Lapas Nusakambangan terkait kasus terorisme.
Di dalam rumah, polisi menemukan sejumlah senjata, antara lain pisau sangkur, belati, parang, dan ketapel. Ditemukan pula sejumlah buku yang antara lain berjudul Surat Kepada Penguasa, Tathbiq Syariah, Selagi Nyawa Menyatu di Raga, 10 Pembatal Ke-Islaman, NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia), serta buku berjudul Status Orang yang Diam Tidak Membantu Para Penguasa Kafir dan Tidak Pula Mengingkari Mereka.
Berturut-turut kemudian, polisi menangkap tiga terduga lain, masih di kawasan Kelurahan Penatoi. Mereka adalah Lita Susanti (34), Ikazdul Imam (21) dan Wawan Darmawan (27).
Dilihat dari rekam jejak Iman Faturahman serta barang bukti yang ditemukan, bisa ditebak motif penembakan terhadap Jainal dan Gafur. Apalagi Bima dan Penatoi kerap disebut dalam banyak rangkaian peristiwa yang berhubungan dengan aksi teror, yang secara khusus menargetkan markas polisi atau anggota Polri.
Pada 17 Juni 2017, misalnya, Densus 88 Antiteror menangkap tiga tersangka teroris di Bima. Ketiganya diduga telah mempersiapkan aksi pengeboman di Markas Polsek Woha, Bima. Mereka juga telah menyiapkan bom rakitan. Bahkan, Wakil Kepala Polda NTB Komisaris Besar Imam Margono mengatakan kuat dugaan mereka berafiliasi dengan jaringan ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
"Secara struktural jaringannya dengan ISIS masih akan kita dalami di pemeriksaan lanjutan," kata Imam Margono kepada wartawan.
Para tersangka itu adalah Kurniawan bin Hamzah (23), yang berperan sebagai penyurvei lokasi dan perakit bom. Kemudian, Nasrul Hidayat alias Dayat (21), mahasiswa yang bertugas sebagai kurir untuk membeli bahan pembuatan bom. Satu tersangka lainnya, Rasyid Ardiansyah, merupakan anggota jaringan Penatoi di Bima yang sempat bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Barat (MIB) dan pernah merampok Kantor Pos dan Giro Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada 2012.
Bahkan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan dua terduga teroris yang ditangkap di Bima (Kurniawan dan Nasrul Hidayat) itu belajar langsung dari Bahrun Naim tentang cara membuat bom.
"Rupanya di Bima juga sama, belajar dari online juga, melalui Bahrun Naim," kata Kapolri di Jakarta, Senin.
Sama dengan rencana serangan lainnya, kata Tito, bom ini rencananya akan digunakan untuk menyerang polisi. Kapolri mengatakan di Bima memang ada beberapa kejadian anggota polisi yang meninggal dan ditembak dalam beberapa tahun terakhir.
"Rencananya yang di Bima akan menyerang Polsek Woha," kata Tito.
Hal ini, kata Tito, serupa dengan pelaku pengeboman di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Keduanya juga belajar membuat bom secara online.
"Semua peristiwa sekarang dilakukan sel JAD (Jamaah Ansharut Daullah), termasuk di Kampung Melayu dan Jalan Thamrin," kata Tito.
Lantas, sejak kapan Bima menjadi sarang kawanan teroris ini?
Mantan narapidana terorisme Sofyan Tsauri tidak merasa heran kalau aksi penembakan dua polisi itu terjadi di Bima.
"Bima adalah destinasi kelompok radikal dan basis kelompok ekstremis. Banyak alumni kombatan juga," kata Sofyan kepada Liputan6.com.
Ia menuturkan, beberapa aksi teror pernah terjadi di sana. Sekitar tahun 2011, kata dia, terjadi insiden penusukan polisi. Tidak lama kemudian, terungkap pula kasus perakitan lima bom di Pondok Pesantren Umar bin Khattab.
Polisi juga mengaitkan pondok pesantren ini dengan pelatihan teror di Aceh. Sofyan Tsauri sendiri pernah terlibat langsung dalam pelatihan itu.
Karena tindakannya menyuplai senjata api dalam pelatihan itu, ia ditangkap dan divonis 10 tahun penjara. Menurut Sofyan, sisa-sisa kekuatan kelompok teror di Poso saat ini berasal dari Bima.
Pada 2013, pesantren Umar bin Khattab dibubarkan. Menurut Sofyan, santri-santrinya banyak yang pindah ke Ampana, lalu bergabung dengan kelompok Santoso di Poso.
Ia juga menyebut wilayah Penatoi di Bima, lokasi kejadian penembakan dua polisi itu, merupakan salah satu basis kekuatan kelompok ekstremis. Sofyan mengatakan tempat itu juga merupakan domisili salah satu pelaku bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur.
"Jadi, (kelompok teror) Bima ini memang cukup signifikan," papar mantan anggota Al Qaeda itu.
Ia menuturkan, di Bima banyak pengikut gerakan seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharut Daullah, dan Jamaah Ansharut Syariah.
Sofyan mengungkapkan, kelompok teror dari Bima banyak dipengaruhi pemikiran ideologi Aman Abdurrahaman alias Oman. Pemilik nama tersebut kini mendekam di bui Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Polisi menduga Oman terlibat aksi pengeboman Sarinah beberapa waktu lalu.
Keterangan Sofyan senada dengan Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti. Dia mengatakan tidak merasa heran dengan keberadaan jaringan teroris di Bima, karena Santoso alias Abu Wardah punya hubungan khusus dengan daerah tersebut.
Santoso ternyata punya seorang istri yang berasal dari Bima. "Kan istri kedua Santoso itu dari Bima. Ada beberapa orang di Bima terkait dengan Santoso," kata Badrodin di Markas Besar Polri, 15 Februari 2016.
Keterangan itu diperkuat mantan Kapolda NTB Brigjen Pol Umar Septono. Dia menjelaskan, wilayah Penatoi merupakan pusat kegiatan kelompok radikal.
Hal itu diungkapkan saat memberikan keterangan pers terkait tewasnya seorang tersangka teroris berinisial FJ, asal Kelurahan Penatoi, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, pada 15 Februari 2016. FJ tewas saat Densus 88 Anti Teror Polri menggerebek kediamannya.
"Perannya cukup kuat, dia diduga berpartisipasi dalam perekrutan anggota baru, termasuk menjembatani mereka dari Bima ke Poso," kata Umar, ketika itu.
Post a Comment