Permadi Satrio Wiwoho Dicecar Puluhan Pertanyaan Oleh Polri
Permadi Satrio Wiwoho Dicecar Puluhan Pertanyaan Oleh Polri
Politisi Partai Gerindra Permadi Satrio Wiwoho memenuhi panggilan Bareskrim Polri untuk memberikan keterangannya sebagai saksi dalam dugaan makar dan hoaks.
"Pertanyaan (untuk) saya ada 21, yang penting kira-kira 15-lah, karena yang 6-kan cuma (pertanyaan) sehat atau tidak dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan saya datang pada pertemuan pada Mei di Rumah Rakyat Jalan Tebet Timur Raya," kata Permadi sesuai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jum'at (17/5/2019).
Di hadapan penyidik, Permadi mengaku dalam acara itu didiundang oleh yang punya rumah. Sebelum datang ke tempat itu, Permadi tak mengetahui ihwal rencana pembacaan petisi di hadapan para wartawan.
"Untuk itu saya tentu minta petisinya seperti apa, saya diberikan petisi ternyata, di petisi itu ada 14 pendahuluan dan empat petisi," ungkap Permadi.
Ia menolak 14 pendahuluan petisi tersebut yang menurutnya terlalu panjang.
"Rakyat tidak akan mau baca dan agak kurang sesuai dengan keinginan saya. Empat petisi saya bersedia, dan keputusan rapat memutuskan saya dianggap paling tua, saya dianggap sesepuh, saya diminta membacakan petisi itu dan saya bersedia," jelasnya.
Ia melanjutkan, saat itu Kivalan Zen memilih datang belakangan ke acara itu. Selain Kivlan, turut hadir pula Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid, Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal, Eggi Sudjana, Habib Umar, dan tokoh lainnya.
"Pada saat hampir habis membacakan petisi, baru Kivlan Zen datang. Terus Kivlan Zen berpidato intinya mengajak people power di Lapangan Banteng, mengepung KPU dan Bawaslu," jelas Permadi.
Kemudian menurut penuturan Permadi, penyidik menanyakan kepadanya apakah setuju dengan pernyataan Kivlan Zen. Ia mengungkapkan dirinya tidak bisa memberikan pendapatnya, mengingat belum mengetahui secara menyeluruh rencana tersebut.
"Saya dan Pak Kivlan Zen adalah sesama aktivis, tapi saya baru ketemu hari itu, jadi saya tidak bisa bilang setuju atau tidak karena saya tidak tahu sebelumnya, rapat-rapat sebelumnya saya tidak tahu, tapi yang pasti karena saya stroke, saya tidak bisa hadir di Lapangan Banteng maupun waktu pengepungan Bawaslu dan KPU," tuturnya.
Permadi juga menyampaikan bahwa orang yang mengatakan people power itu bertentangan dengan konstitusi, maka mereka adalah orang yang kurang benar.
"Yang jelas, sejak zaman Pak Harto, saya tuh melakukan demo atau people power dan saya ditahan 38 kali. Apakah itu mau dianggap makar atau tidak saya tidak peduli. Saya berjuang dan itu dimungkinkan dalam konstitusi. Jadi kalau ada orang mengatakan people power bertentangan dengan konstitusi, berarti orang itu yang kurang bener, pasti kurang bener," kata Permadi.
Permadi juga mengklarifikasi terkait tuduhan penjemputan paksa oleh penyidik. Menurutnya, ia tidak dijemput paksa melainkan penyidik berlaku baik dengan menjemputnya karena dirinya sedang terkena stroke.
"Saya diundang jam 10, saya datang jam 10.15, tetapi karena saya stroke kurang bisa berjalan dengan baik, petugas baik hati menjemput saya," kata dia.
Ia juga menyampaikan bahwa dalam penyidikan, petugas telah bertindak baik dengan memberikan pertanyaan secara sopan.
"Pertanyaan (untuk) saya ada 21, yang penting kira-kira 15-lah, karena yang 6-kan cuma (pertanyaan) sehat atau tidak dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan saya datang pada pertemuan pada Mei di Rumah Rakyat Jalan Tebet Timur Raya," kata Permadi sesuai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jum'at (17/5/2019).
Di hadapan penyidik, Permadi mengaku dalam acara itu didiundang oleh yang punya rumah. Sebelum datang ke tempat itu, Permadi tak mengetahui ihwal rencana pembacaan petisi di hadapan para wartawan.
"Untuk itu saya tentu minta petisinya seperti apa, saya diberikan petisi ternyata, di petisi itu ada 14 pendahuluan dan empat petisi," ungkap Permadi.
Ia menolak 14 pendahuluan petisi tersebut yang menurutnya terlalu panjang.
"Rakyat tidak akan mau baca dan agak kurang sesuai dengan keinginan saya. Empat petisi saya bersedia, dan keputusan rapat memutuskan saya dianggap paling tua, saya dianggap sesepuh, saya diminta membacakan petisi itu dan saya bersedia," jelasnya.
Ia melanjutkan, saat itu Kivalan Zen memilih datang belakangan ke acara itu. Selain Kivlan, turut hadir pula Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid, Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal, Eggi Sudjana, Habib Umar, dan tokoh lainnya.
"Pada saat hampir habis membacakan petisi, baru Kivlan Zen datang. Terus Kivlan Zen berpidato intinya mengajak people power di Lapangan Banteng, mengepung KPU dan Bawaslu," jelas Permadi.
Kemudian menurut penuturan Permadi, penyidik menanyakan kepadanya apakah setuju dengan pernyataan Kivlan Zen. Ia mengungkapkan dirinya tidak bisa memberikan pendapatnya, mengingat belum mengetahui secara menyeluruh rencana tersebut.
"Saya dan Pak Kivlan Zen adalah sesama aktivis, tapi saya baru ketemu hari itu, jadi saya tidak bisa bilang setuju atau tidak karena saya tidak tahu sebelumnya, rapat-rapat sebelumnya saya tidak tahu, tapi yang pasti karena saya stroke, saya tidak bisa hadir di Lapangan Banteng maupun waktu pengepungan Bawaslu dan KPU," tuturnya.
Permadi juga menyampaikan bahwa orang yang mengatakan people power itu bertentangan dengan konstitusi, maka mereka adalah orang yang kurang benar.
"Yang jelas, sejak zaman Pak Harto, saya tuh melakukan demo atau people power dan saya ditahan 38 kali. Apakah itu mau dianggap makar atau tidak saya tidak peduli. Saya berjuang dan itu dimungkinkan dalam konstitusi. Jadi kalau ada orang mengatakan people power bertentangan dengan konstitusi, berarti orang itu yang kurang bener, pasti kurang bener," kata Permadi.
Permadi juga mengklarifikasi terkait tuduhan penjemputan paksa oleh penyidik. Menurutnya, ia tidak dijemput paksa melainkan penyidik berlaku baik dengan menjemputnya karena dirinya sedang terkena stroke.
"Saya diundang jam 10, saya datang jam 10.15, tetapi karena saya stroke kurang bisa berjalan dengan baik, petugas baik hati menjemput saya," kata dia.
Ia juga menyampaikan bahwa dalam penyidikan, petugas telah bertindak baik dengan memberikan pertanyaan secara sopan.
Post a Comment