KPK : Jangan Memilih Caleg Karena Amplop
KPK : Jangan Memilih Caleg Karena Amplop
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak masyarakat menolak dan tidak memilih caleg yang menawarkan amplop untuk membeli suara dalam Pemilu 2019.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, mengatakan dalam kasus terakhir dengan tersangka Anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso, ditemukan amplop berisi pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu untuk serangan fajar.
"Apa iya harga diri, suara, dan nasib masyarakat dibeli dengan amplop senilai hanya Rp 20 ribu itu. Kami mengajak masyarakat menolak dan bahkan tidak memilih caleg melakukan hal seperti itu," kata Febri seperti dikutip dari Antara.
Pemilih, kata dia, juga harus jujur dan bersama memerangi politik uang. Adanya kasus Bowo Sidik Pangarso menunjukkan masih ada pihak-pihak yang menggunakan strategi politik uang untuk membeli suara masyarakat.
Hal itu dinilainya hanya fenomena gunung es yang harus diwaspadai meskipun baru satu kasus terungkap. Dia berharap, kasus itu menjadi pengingat masyarakat.
Apabila masyarakat sudah menolak uang yang ditawarkan, caleg diperkirakan akan berpikir ulang dalam memberi amplop karena sudah mengeluarkan banyak uang, tetapi tidak dapat membeli suara masyarakat.
"Jadi ada dua sisi. Di satu sisi kerja pengawasan proses pemilu, KPK dengan kewenangannya. Kemudian Bawaslu dengan undang-undang. Itu sangat penting dan di sisi lain adalah kesadaran kita sebagai pemilih," kata Febri Diansyah.
Bawaslu pun akan melakukan patroli saat masa tenang pada 14-16 April 2019 untuk mencegah politik uang yang rawan terjadi saat periode tersebut.
Patroli diharapkan memunculkan psikologi publik agar tidak mau menerima dan memberi atas dasar menyuruh orang memilih seorang calon karena dampaknya pidana.
Selain ancaman pidana, politik uang yang memiliki kerawanan tinggi di Tanah Air, yakni meracuni kualitas proses pemilu.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, Ismail Rumadan menilai wajar jika masyarakat bertanya-tanya terkait isu tersebut. Apalagi, momen pencoblosan sudah tinggal menghitung hari.
“KPK harus transparan dan bertindak cepat dan tegas, karena hal ini berkaitan dengan penyelenggaran Pemilu, jika terbukti uang tersebut untuk serangan fajar baik pada Pilpres maupun Pileg, maka hal ini sudah termasuk dalamkategori tindak pidana pemilu,” terang Ismail di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Ismail pun mendesak KPK untuk oleh mengungkap asal muasal uang tersebut. Menurutnya, tidak mungkin tindakan mengumpulkan uang dengan jumlah itu hanya bersifat tunggal.
“Pasti ada pihak-pihak lain yang terkait terutama pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam Pilpres maupun Pileg,” sambungnya.
Karena itu, Ismail berharap Bawaslu juga turun tangan untuk menjatuhkan sanksi pidana pemilu di kasus tersebut.
“ Sekali lagi Bawaslu bisa menjatuhkan sanksi secara tegas terhadap pelaku,” tegasnya.
Seperi diketahui KPK menangkap tangan Bowo Sidik dalam rangkaian OTT pada Rabu (27/3) hingga Kamis (28/3) malam. Penangkapan terhadap politikus Golkar itu sebagai lanjutan setelah lembaga antirasuah KPK menangkap orang kepercayaannya sesaat setelah menerima suap.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, mengatakan dalam kasus terakhir dengan tersangka Anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso, ditemukan amplop berisi pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu untuk serangan fajar.
"Apa iya harga diri, suara, dan nasib masyarakat dibeli dengan amplop senilai hanya Rp 20 ribu itu. Kami mengajak masyarakat menolak dan bahkan tidak memilih caleg melakukan hal seperti itu," kata Febri seperti dikutip dari Antara.
Pemilih, kata dia, juga harus jujur dan bersama memerangi politik uang. Adanya kasus Bowo Sidik Pangarso menunjukkan masih ada pihak-pihak yang menggunakan strategi politik uang untuk membeli suara masyarakat.
Hal itu dinilainya hanya fenomena gunung es yang harus diwaspadai meskipun baru satu kasus terungkap. Dia berharap, kasus itu menjadi pengingat masyarakat.
Apabila masyarakat sudah menolak uang yang ditawarkan, caleg diperkirakan akan berpikir ulang dalam memberi amplop karena sudah mengeluarkan banyak uang, tetapi tidak dapat membeli suara masyarakat.
"Jadi ada dua sisi. Di satu sisi kerja pengawasan proses pemilu, KPK dengan kewenangannya. Kemudian Bawaslu dengan undang-undang. Itu sangat penting dan di sisi lain adalah kesadaran kita sebagai pemilih," kata Febri Diansyah.
Bawaslu pun akan melakukan patroli saat masa tenang pada 14-16 April 2019 untuk mencegah politik uang yang rawan terjadi saat periode tersebut.
Patroli diharapkan memunculkan psikologi publik agar tidak mau menerima dan memberi atas dasar menyuruh orang memilih seorang calon karena dampaknya pidana.
Selain ancaman pidana, politik uang yang memiliki kerawanan tinggi di Tanah Air, yakni meracuni kualitas proses pemilu.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, Ismail Rumadan menilai wajar jika masyarakat bertanya-tanya terkait isu tersebut. Apalagi, momen pencoblosan sudah tinggal menghitung hari.
“KPK harus transparan dan bertindak cepat dan tegas, karena hal ini berkaitan dengan penyelenggaran Pemilu, jika terbukti uang tersebut untuk serangan fajar baik pada Pilpres maupun Pileg, maka hal ini sudah termasuk dalamkategori tindak pidana pemilu,” terang Ismail di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Ismail pun mendesak KPK untuk oleh mengungkap asal muasal uang tersebut. Menurutnya, tidak mungkin tindakan mengumpulkan uang dengan jumlah itu hanya bersifat tunggal.
“Pasti ada pihak-pihak lain yang terkait terutama pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam Pilpres maupun Pileg,” sambungnya.
Karena itu, Ismail berharap Bawaslu juga turun tangan untuk menjatuhkan sanksi pidana pemilu di kasus tersebut.
“ Sekali lagi Bawaslu bisa menjatuhkan sanksi secara tegas terhadap pelaku,” tegasnya.
Seperi diketahui KPK menangkap tangan Bowo Sidik dalam rangkaian OTT pada Rabu (27/3) hingga Kamis (28/3) malam. Penangkapan terhadap politikus Golkar itu sebagai lanjutan setelah lembaga antirasuah KPK menangkap orang kepercayaannya sesaat setelah menerima suap.
Post a Comment