Header Ads

Puluhan Perempuan WNI Menjadi Korban Trafficking Dengan Modus Pengantin Pesanan

Puluhan Perempuan WNI Menjadi Korban Trafficking Dengan Modus Pengantin Pesanan


Sebanyak 29 perempuan Indonesia menjadi korban pengantin pesanan di China. Diduga, mereka terperangkap dalam modus kejahataan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

13 Perempuan tersebut berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sementara 16 perempuan lainnya berasal dari Jawa Barat.

Sekjen Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma'arif menyebut, temuan itu merujuk dari tiga tahapan pelanggaran TPPO. Yakni proses, cara, dan tujuan eksploitasi sebagaimana Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Pada proses perekrutan dan pemindahan, kata Bobi, terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada pria asal China untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke negaranya.

"Cara penipuan digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga para korban juga diberi sejumlah uang," kata Bobi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (23/6/2019).

Bobi menuturkan, seorang pria China harus menyiapkan uang Rp 400 juta untuk memesan pengantin perempuan. Dari uang itu, sebanyak Rp 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan.

"Dengan memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa di antaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan," tuturnya.

Selain itu, ditemukan pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak di bawah umur. Menurut Bobi, tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah untuk dieksploitasi.

Data pelaporan korban yang dihimpun SBMI memperlihatkan, bahwa saat tinggal di negara asal suami atau pemesan, mereka diharuskan bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.

Sepulang kerja, mereka tetap diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami. Para korban dilarang berhubungan dengan keluarga di Indonesia.

Bobi mengatakan, mereka diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami bila ingin kembali ke Indonesia.

Eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisasi dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.

"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit," ucap Bobi.

Sejauh ini, baru tiga korban yang sudah dipulangkan ke Indonesia. Sementara, ada 26 korban lain yang masih berada di China.

"Jadi dari 29 itu 3 sudah dipulangkan. 26 Orang lainnya masih bersama suaminya di Tiongkok," ujar Bobi.
Diberdayakan oleh Blogger.